Sumber gambar: https://www.google.com/search?q=analisis+film+temple+gardin&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwj21K6J5OLMAhVFpo8KHXc4CDIQ_AUICSgD&biw=1366&bih=631#tbm=isch&q=film+temple+grandin
1.
Sinopsis
Film
Keterangan
Judul : Temple Grandin
Durasi : 107 Menit
Director : Mick Jackon
Writers : Temple Grandin , Margaret
Scariano
Nama Temple
Grandin memang kurang dikenal di Indonesia. Namun, namanya sudah sangat
dikenal luas di Amerika Serikat, terutama jika dihubungkan dengan dunia
autisme. Tapi, kini kita bisa melihat kisah perjalanannya melalui film televisi
berjudul Temple Grandin yang dibintangi Claire Danes.
Temple
Grandin lahir di Boston, Massachusetts pada 29 Agustus 1947. Sebelum
didiagnosis mengidap autis pada 1950, awalnya Grandin didiagnosis mengidap
kerusakan otak ketika berusia dua tahun. Ia pun dimasukkan ke sebuah kelompok
bermain yang guru-gurunya dianggap bisa memahami kondisi Grandin. Sesuai saran
dokter, Ibu Grandin menyewa seorang terapi wicara.
Ketidakmampuan
untuk berbicara membuat Grandin frustrasi. Jika seorang dewasa berbicara langsung
kepadanya, ia dapat memahami apa yang mereka katakan, tapi ia kesulitan
mengeluarkan kata-kata yang ingin diucapkan. Terapis wicara itu tahu betul
bagaimana cara masuk ke dalam dunia Grandin. Ia akan memegang dagu Grandin dan
membuat Grandin menatap matanya dan kemudian berkata sepatah kata. Jika si
terapis terlalu memaksa, Grandin biasanya akan mengamuk (tantrum). Namun, semua
ketidaknyamanan ini memang harus dialami Grandin. Karena tanpanya, tidak akan
ada perkembangan berarti yang bisa dicapai Grandin saat itu.
Akhirnya
pada usia empat tahun, Grandin mulai bisa berbicara dan mulai memperlihatkan
perkembangan dari waktu ke waktu. Grandin menyebutkan bahwa masa-masa sekolah
dasar dan menengah merupakan masa terburuk dalam hidupnya. Ia merupakan ”anak
aneh” yang menjadi bahan ejekan dan lelucon anak-anak lainnya. Untuk membantu
perkembangan kondisinya, Grandin mengonsumsi obat anti depresi secara teratur
dan menggunakan ”squeeze-box” (mesin peluk) yang diciptakannya pada usia
18 tahun sebagai bentuk terapi personal. Beberapa tahun kemudian, kondisinya
itu dapat dikenali dan ia didiagnosis menderita sindrom asperger, salah satu
gejala autisme.
Meski
perjuangan belajarnya bisa dikatakan habis-habisan, Grandin mampu menyelesaikan
sekolahnya di Hampshire Country School di Rindge, New Hampshire. Setelah itu,
ia meneruskan pendidikannya ke universitas. Ia berhasil meraih gelar sarjana
jurusan psikologi dari Franklin Pierce College pada 1970, gelar master
jurusan pengetahuan binatang dari Arizona State University pada 1975, dan gelar
doktor jurusan pengetahuan binatang dari University of Illionis di Urbana
Champaign pada 1989. Bagi seorang penyandang autis, tentu prestasinya ini
sangat luar biasa.
Setelah
menyelesaikan pendidikannya, Grandin menggunakan pengalamannya sebagai
penyandang autis untuk memberikan konsultasi dalam mengenali autis sejak dini.
Ia juga memberikan konsultasi kepada para guru, sehingga dapat memberikan
penanganan langsung kepada anak autis dengan cara yang lebih tepat. Grandin pun
akhirnya dianggap sebagai pemimpin filosofis bagi gerakan kesejahteraan binatang
dan konsultasi autis.
Kedua
gerakan itu pada umumnya berhubungan dengan karya-karya tulis Grandin yang
bertemakan kesejahteraan binatang, neurologi, dan filosofi. Pada 2004, ia
meraih penghargaan Proggy untuk kategori ”Visionary” dari People
for the Ethical Treatment of Animals. Karya-karya tulisnya mengenai autisme
yang ditulisnya dari sudut pandang penyandang autis, sangat membantu para ahli
dan dunia kedokteran dalam membantu penanganan autis. Karya-karyanya, antara
lain “Journal of Autism and Developmental Disorders” dan “Emergence:
Labelled Autistic”.
Penderita
autis rata-rata memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi namun karena tak mampu
bersosialisasi, seringkali kepintarannya tak terlihat. Temple Grandin adalah
kisah penderita autis yang bisa melewati masa sulit hingga mampu jadi profesor.
Temple Grandin tahu benar bahwa dirinya berbeda, tapi ia tidak pernah merasa
kurang dari orang lain. Belum genap usia 3 tahun, Temple didiagnosis dengan
austisme, masalah perkembangan saraf kompleks yang membuatnya tidak mampu
berhubungan sosial. Meski jatuh bangun menghadapi kondisinya, kini Temple
justru berhasil menjadi seorang profesor di bidang ilmu hewan.
Temple
Grandin lahir di Boston, AS, pada 3 Desember 1947 dari pasangan Richard Grandin
dan Eustacia Cutler. Tapi pada tahun 1950, sulung dari empat bersaudara ini
mengalami gejala awal autisme, ia benci disentuh, mudah marah dan sangat
pendiam. Pada saat itu, anak-anak autis seringkali salah mendapatkan diagnosis,
sehingga banyak yang mengalami masalah pada perkembangan fisik (difabel atau
cacat), kerusakan otak atau bahkan tidak akan pernah bisa hidup sendiri.
Seiring berjalannya waktu, gejala autis Temple pun semakin parah.
Dokter
berpendapat ia mengalami kerusakan otak dan harus menerima perawatan jangka
panjang. Ayahnya bahkan ingin Temple dirawat dalam institusi dengan menjalani
perawatan gangguan perkembangan seumur hidup. "Ayah saya adalah salah satu
orang yang ingin menempatkan saya di sebuah institusi (semacam lembaga
perawatan seumur hidup untuk anak autis)," jelas Temple Grandin, yang kini
lebih dikenal sebagai profesor ilmu hewan di Colorado State University, seperti
dilansir Dailymail. Tapi ibunya Eustacia, justu mengirim putrinya ke terapi
wicara dan menyewa pengasuh untuk menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari
untuk bermain game dengannya. "Ketika saya masih sangat muda, saya tidak
berbicara, tidak memperhatikan atau melakukan kontak mata sama sekali. Saya
hanya akan bersenandung sendiri dan menggiring bola pasir di tangan,"
kenang wanita 64 tahun ini.
Menurut
Temple, memberikan banyak waktu untuk bersama lebih dini sangat penting untuk
anak autis. Hal itu dapat menghentikan sang anak mundur pada sudut isolasi dan
membuat perubahan di otaknya. Sang ibu yang tangguh merasa yakin bahwa dengan
interaksi yang cukup, Temple dapat dilatih untuk belajar berperilaku 'normal'.
Tak hanya belajar berbicara, Temple pun diajari sopan santun.
Pada usia 5
tahun, sang ibu mengajarkan dengan sedikit memaksanya untuk dapat menempatkan
serbet di pangkuan, lalu menata sendok dan garpu dengan benar. Menurut Temple,
anak-anak autis zaman sekarang terlalu banyak dimanja sehingga menyebabkan
sensory overload, yang dapat membawa serangan panik berlebihan. "Jika Anda
tidak menekan sedikit, maka tidak akan ada kemajuan apapun," jelasnya.
Keluarga Grandin memiliki dana yang cukup untuk mengirim Temple ke sekolah
swasta yang memberinya perhatian lebih ketimbang sekolah negeri. Namun meski
sekolah tetap tidak menyenangkan baginya, ada satu kelas yang benar-benar
membuatnya merasa senang, yaitu kelas berkuda dan laboratorium ilmu
pengetahuan.
Saat harus
berusaha mengatasi ketidakmampuan fisiknya, Temple justru mendapatkan
keuntungan sendiri. Di suatu musim panas, Temple remaja yang tinggal di
peternakan bibinya di Arizona menemukan empati manusianya yang hilang,
diimbangi dengan pemahaman yang luar biasa terhadap hewan di peternakan bibinya.
Peternakan menjadi titik balik bagi Temple. Bukan saja ia bisa merawat kuda
bibinya, tapi ia juga mulai merasakan ikatan khusus dengan ternak, yang
membuatnya merasa lebih damai ketimbang harus berinteraksi dengan orang lain.
Jika 'Dr Doolittle' dapat berbicara dengan hewan, maka Temple dapat berpikir
seperti apa yang hewan pikirkan.
Ia menemukan
bahwa sapi sama seperti dirinya, resah dengan suara dan gerakan yang tak
terduga. Namun dengan tekanan yang sesuai, sapi dapat tenang saat dilakukan
pemerahan susu atau vaksinasi. Terpesona dengan kondisi itu, Temple membujuk
bibinya agar diperbolehkan mencoba memerah sapi. Hasilnya sangat dramatis, hal
itu dapat menenangkan saraf Temple. Dengan berpikiran ilmiah, Temple pun
menciptakan 'mesin tekan' (squeeze machine) darurat sendiri. Dia akan menarik
kabel yang diberikan tekanan dari panel pada kedua sisinya, yang dapat
menenangkan sistem sarafnya yang terlalu aktif.
Masa SMA
menjadi makin sulit baginya, tetapi ia terus bertahan dan berhasil mendapatkan
gelar sarjana psikologi dari Franklin Pierce University di New Hampshire.
"Tinggal di sebuah kamar bersama di asrama adalah bagian tersulit. Squeeze
machine dibuang oleh teman sekamar karena dianggap berantakan," kenang
Temple. Di sekolah pascasarjana di Arizona State University, Temple akhirnya
menemukan suaranya, meneliti perilaku hewan dan bekerja di industri ternak
sebagai bagian dari penelitian pascasarjananya.
Dia mulai
merasakan bahwa ternak dan hewan lainnya sama seperti dirinya, mengandalkan
petunjuk visual untuk menavigasi dunia mereka. "Hewan adalah pemikir
sensorik. Mereka berpikir dalam gambar, juga dalam bau dan suara," jelas
Temple. Dengan perspektif yang unik, Temple pun mulai menulis artikel untuk
majalah ternak yang terkenal. Namun industri ternak dari Midwest pada 1970-an,
bagaimanapun, bukan tempat yang mudah bagi seorang wanita muda. Dia menghadapi
seksisme ekstrim dan bullying, bahkan pada suatu kesempatan, ia
mendapatkan mobilnya tertutup testis banteng yang berdarah. "Banyak koboi
yang ingin saya pergi karena mereka mengatakan istrinya tidak suka saya berada
disana. Tapi karena saya autis, saya tidak menangkap hal-hal sosial. Saya tidak
melihat ketidaksukaan mereka terhadap saya, saya hanya ingin bekerja. Jadi
selama saya bisa melakukannya dan saya senang," ujar Temple.
Temple mulai
merancang apa yang sudah ia lihat dalam benaknya, yaitu cara yang lebih baik
menyalurkan ternak melalui tong disinfektan dan vaksinasi tanpa membuat ternak
menjadi khawatir atau takut.
Selanjutnya,
dia mengalihkan perhatiannya ke rumah pemotongan hewan, merancang sistem
penyembelihan ternak yang lebih manusiawi. Luar biasanya, kini lebih dari
setengah juta ternak di AS dan Kanada ditangani dengan fasilitas yang dirancang
oleh Temple. Ia juga bekerja sebagai konsultan bagi McDonald, perancangan dan
pelaksanaan program-program kesejahteraan hewan. Anak autis ini mampu mengubah
industri peternakan Amerika, menjadi juru bicara autisme dan mengajar mahasiswa
PhD di Colorado State University. Dr Temple Grandin juga menulis sepuluh buku,
tentang hewan dan perilaku manusia. Kisah hidup Temple yang inspiratif bahkan
pernah difilmkan oleh HBO dengan judul namanya sendiri 'Temple Grandin'.
2.
Analisis
Film Temple Grandin
A.
Lobus
Parientalis
Lobus pariental terletak diantara lobus
oksipital dan sulkus sentral yang merupakan salah satu lekukan
terdalam pada permukaan korteks serebrum. Didekat bagian posterior sulkus
sentrall terdapat girus postsentral, atau disebut juga korteks somatosensori utama yang merupakan target utama untuk sensasi
sentuhan serta informasi dari reseptor regang-otot dan persendian.
Pada penderitia autis terdapat kelainan
pada anatomi lobus pariental, salah satunya kelainan yang terjadi di dalam
somatosensori. Kelainan ini menyebabakan penderita autis tidak menyukai
sentuhan, pelukan yang dilakukan oleh orang lain kepada dirinya. Hal ini juga
terjadi pada Temple Grandin, ia selalu menghindari dan menolak orang yang ingin
mengajak berjabat tangan, menyentuh bahkan ketika orang tuanya ingin memeluk
dirinya Grandin selalu menolak karena hal itu merupakan ancaman bagi Temple.
Selain
itu, penderita autis juga mengalami kelainan anatomi lobus parietal, cerebellum
dan sistem limbik. Kelainan lobus parietalis menyebabkan anak cuek terhadap
lingkungan. Hal ini juga terjadi pada Temple, ia tidak peduli ketika
orang-orang disekitarnya mengejek dirinya sebagai orang aneh. Temple tetap
menjalakankan hal yang ia sukai yaitu sains. Dia menghadapi seksisme ekstrim dan bullying,
bahkan pada suatu kesempatan, ia mendapatkan mobilnya tertutup testis banteng
yang berdarah. "Banyak koboi yang ingin saya pergi karena mereka
mengatakan istrinya tidak suka saya berada disana. Tapi karena saya autis, saya
tidak menangkap hal-hal sosial. Saya tidak melihat ketidaksukaan mereka
terhadap saya, saya hanya ingin bekerja. Jadi selama saya bisa melakukannya dan
saya senang," ujar Temple.
Cerebellum
merupakan pusat koordinasi motorik yaitu daerah yang berkaitan dengan kegiatan
motorik, sensasi dari kulit, berbicara, pendengaran, penglihatan, proses-proses
mental yang lebih tinggi. Penderita autis akan mengalami gangguan pada
cerebellum dan menyebabkan perilaku seperti yang Temple alami yaitu Ketika Temple masih sangat muda, ia
tidak berbicara, tidak memperhatikan atau melakukan kontak mata sama sekali.
Dia hanya akan bersenandung sendiri dan menggiring bola pasir di tangan.
Kelainan sistem limbik mengakibatkan
fungsi control,terhadap agresi dan emosi terganggu, anak kurang mampu
mengendalikan emosinya (terlalu agresif atau sangat pasif) karena sistem limbik
berperan penting dalam reaksi emosi. Daerah sistem limbik mencakup hippocampus
dan amygdala. Hippocampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya
ingat. Gangguan hippocampus membuat anak sulit menyimpan info baru. Hal seperti
itupun dialami oleh Temple, ia tipe anak autis yang tidak menyerang orang lain
kecuali diprovokasi terlebih dahulu. Suatu ketika Temple sedang membuat semacam
mobil mini dari kayu dan tiba-tiba temannya datang lalu menaburkan serbuk kayu
kepada Temple, ia langsung marah dan memukul temannya hingga hidung temannya
tersebut berdarah.
Penelitian-penelitian
yang dilakukan oleh Hass dkk.
(dalam
Huebner & Lane, 2001) dan Courchesne (dalam Nash, 2002) menemukan suatu kesamaan
yaitu adanya penurunan
jumlah sel Purkinje pada hemisfer serebelum dan vermis. Penelitian lanjutan oleh
Courchesne dkk.
(Courchesne,
Redcay, Morgan, & Kennedy, 2005) menghasilkan hipotesis baru. Para
peneliti berpendapat
bahwa
pada saat lahir bayi autistik memiliki ukuran otak yang normal. Namun
setelah mencapai usia dua atau
tiga
tahun, ukuran otak mereka membesar melebihi normal, terutama pada lobus frontalis
dan otak kecil,
yang
disebabkan oleh pertumbuhan white matter dan gray matter yang
berlebihan. Sementara sel saraf yang ada lebih sedikit dibandingkan pada otak
normal dan kekuatannya
juga lebih lemah. Kondisi inilah yang tampaknya berkaitan dengan gangguan pada perkembangan kognitif,
bahasa, emosi dan interaksi
sosial.
Kaitanny dengan ha tersebut, Temple mengalami hal yang sama yaitu dia telahir
layaknya orang normal pada umumnya. Tidak terlihat adanya tanda-tanda kelainan
psikologis. Namun, setelah Temple berusia 3 tahun tanda-tanda mulai terlihat
seperti tidak mau disentuh dan dipeluk, belum bisa berkomunikasi baik secara
verbal maupun nonverbal namun ia mengerti apa yang dikatakan orang, Tempe
sering mengamuk (tantrum) apabila
dirasa ada hal-hal yang mengancam dirinya.
Namun
meskipun begitu, Temple memiliki kelebihan yang jarang dimiliki oleh anak-anak
pada umumnya yaitu ia mampu memvisualisasikan apa yang ia lihat. Ia mampu
mengingat apapun yang ia lihat seperti ketika pelajaran bahasa perancis, Temple
hanya melihat sekilas materi dan ia mampu menjelaskan dengan baik karena Temple
mengasosiasikannya dengan gambar yang ada di halaman tersebut. Ketika orang-orang
menyebutnya sebuah rencana yang keberhasilannya belum diketahui secara pasti
namun bagi Temple rencana tersebut sudah tentu dan pasti berhasil karena ia
sudah melihat dan melaksanakannya ribuan kali di kepalanya.
Hipersensitivitas
pada suara merupakan masalah yang paling banyak dialami olehp penderita autis. Banyak
suara yang tidak dirasakan mengganggu oleh individu yang normal, tetapi
dipersepsi sebagai suara yang amat bising dan memekakkan telinga oleh penderita
autis. Uniknya, suara-suara tertentu dapat menimbulkan perasaan senang dan
nyaman sehingga cenderung ingin didengar berulang-ulang
DAFTAR PUSTAKA
Solso L Robert, Otto H Maclin, M Kimberly Maclin.
2008. Psikologi Kognitif Edisi 8. Jakarta
: Erlangga
Kalat J.W . 2013. Biopsikologi Jilid 1 Edisi 9. Jakarta : Salemba Humanika
Ginanjar Adriana Soekandar. (2007). “ memahami
spectrum autistic secara holistik”. Dar jurnal makara sosial humaniora.
11(2),87-90.