hanya coretan tak bermakna



Aku tak pernah tau kapan rasa ini hadir menyapaku,
merasuk ke jiwaku begitu lembut laksana desiran angin di musim penghujan. Mendinginkan hatiku, namun begitu mendamaikan.
Aku tak pernah bisa menafsirkan dengan suatu katapun,
yang ku mengerti hanya sebuah rasa yang indah.
Dan semakin indah ketika ku tau ini adalah rasa yang tuhan kirim untukku, 
 aku yakin tuhan tak pernah salah memberikan rasa yang begitu indah ini untukku,
Dan aku akan terus berjalan menapaki setiap garis waktu yang telah tuhan peruntukan untukku,
mencoba membuka tabir yang selama ini menjadi teka teki dalam hidupku…
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

sebuah tulisan mengenai sosok yang katanya mulia..



Teruntuk wanita yang katanya mulia ..
Sosok wanita yang selalu dibanggakan,
Yang katanya ada syurga dibawah telapak kakinya,
Yang katanya malaikat tak  bersayap,
Yang katanya Kasihnya sepanjang masa dan tak terhingga,
Yang katanya senyumnya menghapus lelah dan membuat indah dunia,
Ya dia seorang ibu yang selalu dibanggakan anak-anaknya,
Namun aku ragu akan hal itu,
Persepsi yang ku buat karena tak kulihat semua itu dalam dirimu,
Kau hadirkan kebencian dalam hati suci dengan tingkahmu,
Kemarahan dalam sukma menyiksa batin anakmu
Kutau benci hancurkan jiwa dan nuraniku,
Aku kini terprosok dalam jurang kenistaan
Kucoba tinggalkan benci dalam gelap malam yang kelam
Kucoba raih hati suci yang pernah bertahta dalam diri ini
Mencari setitik cinta yang masih bertahta,
Atau hanya sekedar setitik kasih yang terselip
Namun semakin kumencari, semakin tumbuh kebencian dalam diri ini
Tak adakah nurani dalam diri ini???
Aku merintih menyesali kebodohan diri
Umii… kasihmu yang tak bertepi
Mengapa harus singgah pada diri ini??
Diri yang tak tau cara balas budi
Diri yang tak mengerti arti terimakasih
Namun, bukannya semua ini beralasan tuhan??
Tak mungkin ada air jika ia tak memberi kehidupan
Semuanya mempunyai makna,
Entah tersirat atau tersurat,
Melalui gurat kasih yang kau pahat
Masih jelas bekas yang melekat
Keegoisan sirnakan secepat kilat
Seakan semuanya tak terlihat
Kini aku mengerti tuhan
Kasih umi yang mengalir
Merupakan anugrah terindah dariMu
Kasih yang sering tak kusadari
Merupakan titipan cintaMu yang kau kirim lewat umiku
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

analisis film temple grandin. fim yang sangat luar biasa menginspirasi, autis memang berbeda tetapi bukan berarti kurang~



Sumber gambar: https://www.google.com/search?q=analisis+film+temple+gardin&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwj21K6J5OLMAhVFpo8KHXc4CDIQ_AUICSgD&biw=1366&bih=631#tbm=isch&q=film+temple+grandin
1.      Sinopsis Film
Keterangan
Judul                     : Temple Grandin
Durasi                    : 107 Menit
Director     : Mick Jackon
Writers                  : Temple Grandin , Margaret Scariano
Nama Temple Grandin memang kurang dikenal di Indonesia. Namun, namanya sudah sangat dikenal luas di Amerika Serikat, terutama jika dihubungkan dengan dunia autisme. Tapi, kini kita bisa melihat kisah perjalanannya melalui film televisi berjudul Temple Grandin yang dibintangi Claire Danes.
Temple Grandin lahir di Boston, Massachusetts pada 29 Agustus 1947. Sebelum didiagnosis mengidap autis pada 1950, awalnya Grandin didiagnosis mengidap kerusakan otak ketika berusia dua tahun. Ia pun dimasukkan ke sebuah kelompok bermain yang guru-gurunya dianggap bisa memahami kondisi Grandin. Sesuai saran dokter, Ibu Grandin menyewa seorang terapi wicara.
Ketidakmampuan untuk berbicara membuat Grandin frustrasi. Jika seorang dewasa berbicara langsung kepadanya, ia dapat memahami apa yang mereka katakan, tapi ia kesulitan mengeluarkan kata-kata yang ingin diucapkan. Terapis wicara itu tahu betul bagaimana cara masuk ke dalam dunia Grandin. Ia akan memegang dagu Grandin dan membuat Grandin menatap matanya dan kemudian berkata sepatah kata. Jika si terapis terlalu memaksa, Grandin biasanya akan mengamuk (tantrum). Namun, semua ketidaknyamanan ini memang harus dialami Grandin. Karena tanpanya, tidak akan ada perkembangan berarti yang bisa dicapai Grandin saat itu.
Akhirnya pada usia empat tahun, Grandin mulai bisa berbicara dan mulai memperlihatkan perkembangan dari waktu ke waktu. Grandin menyebutkan bahwa masa-masa sekolah dasar dan menengah merupakan masa terburuk dalam hidupnya. Ia merupakan ”anak aneh” yang menjadi bahan ejekan dan lelucon anak-anak lainnya. Untuk membantu perkembangan kondisinya, Grandin mengonsumsi obat anti depresi secara teratur dan menggunakan ”squeeze-box” (mesin peluk) yang diciptakannya pada usia 18 tahun sebagai bentuk terapi personal. Beberapa tahun kemudian, kondisinya itu dapat dikenali dan ia didiagnosis menderita sindrom asperger, salah satu gejala autisme.
Meski perjuangan belajarnya bisa dikatakan habis-habisan, Grandin mampu menyelesaikan sekolahnya di Hampshire Country School di Rindge, New Hampshire. Setelah itu, ia meneruskan pendidikannya ke universitas. Ia berhasil meraih gelar sarjana jurusan psikologi dari Franklin Pierce College pada  1970, gelar master jurusan pengetahuan binatang dari Arizona State University pada 1975, dan gelar doktor jurusan pengetahuan binatang dari University of Illionis di Urbana Champaign pada 1989. Bagi seorang penyandang autis, tentu prestasinya ini sangat luar biasa.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Grandin menggunakan pengalamannya sebagai penyandang autis untuk memberikan konsultasi dalam mengenali autis sejak dini. Ia juga memberikan konsultasi kepada para guru, sehingga dapat memberikan penanganan langsung kepada anak autis dengan cara yang lebih tepat. Grandin pun akhirnya dianggap sebagai pemimpin filosofis bagi gerakan kesejahteraan binatang dan konsultasi autis.
Kedua gerakan itu pada umumnya berhubungan dengan karya-karya tulis Grandin yang bertemakan kesejahteraan binatang, neurologi, dan filosofi. Pada 2004, ia meraih penghargaan Proggy untuk kategori ”Visionary” dari People for the Ethical Treatment of Animals. Karya-karya tulisnya mengenai autisme yang ditulisnya dari sudut pandang penyandang autis, sangat membantu para ahli dan dunia kedokteran dalam membantu penanganan autis. Karya-karyanya, antara lain “Journal of Autism and Developmental Disorders” dan “Emergence: Labelled Autistic”.
Penderita autis rata-rata memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi namun karena tak mampu bersosialisasi, seringkali kepintarannya tak terlihat. Temple Grandin adalah kisah penderita autis yang bisa melewati masa sulit hingga mampu jadi profesor. Temple Grandin tahu benar bahwa dirinya berbeda, tapi ia tidak pernah merasa kurang dari orang lain. Belum genap usia 3 tahun, Temple didiagnosis dengan austisme, masalah perkembangan saraf kompleks yang membuatnya tidak mampu berhubungan sosial. Meski jatuh bangun menghadapi kondisinya, kini Temple justru berhasil menjadi seorang profesor di bidang ilmu hewan.
Temple Grandin lahir di Boston, AS, pada 3 Desember 1947 dari pasangan Richard Grandin dan Eustacia Cutler. Tapi pada tahun 1950, sulung dari empat bersaudara ini mengalami gejala awal autisme, ia benci disentuh, mudah marah dan sangat pendiam. Pada saat itu, anak-anak autis seringkali salah mendapatkan diagnosis, sehingga banyak yang mengalami masalah pada perkembangan fisik (difabel atau cacat), kerusakan otak atau bahkan tidak akan pernah bisa hidup sendiri. Seiring berjalannya waktu, gejala autis Temple pun semakin parah.
Dokter berpendapat ia mengalami kerusakan otak dan harus menerima perawatan jangka panjang. Ayahnya bahkan ingin Temple dirawat dalam institusi dengan menjalani perawatan gangguan perkembangan seumur hidup. "Ayah saya adalah salah satu orang yang ingin menempatkan saya di sebuah institusi (semacam lembaga perawatan seumur hidup untuk anak autis)," jelas Temple Grandin, yang kini lebih dikenal sebagai profesor ilmu hewan di Colorado State University, seperti dilansir Dailymail. Tapi ibunya Eustacia, justu mengirim putrinya ke terapi wicara dan menyewa pengasuh untuk menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk bermain game dengannya. "Ketika saya masih sangat muda, saya tidak berbicara, tidak memperhatikan atau melakukan kontak mata sama sekali. Saya hanya akan bersenandung sendiri dan menggiring bola pasir di tangan," kenang wanita 64 tahun ini.
Menurut Temple, memberikan banyak waktu untuk bersama lebih dini sangat penting untuk anak autis. Hal itu dapat menghentikan sang anak mundur pada sudut isolasi dan membuat perubahan di otaknya. Sang ibu yang tangguh merasa yakin bahwa dengan interaksi yang cukup, Temple dapat dilatih untuk belajar berperilaku 'normal'. Tak hanya belajar berbicara, Temple pun diajari sopan santun.
Pada usia 5 tahun, sang ibu mengajarkan dengan sedikit memaksanya untuk dapat menempatkan serbet di pangkuan, lalu menata sendok dan garpu dengan benar. Menurut Temple, anak-anak autis zaman sekarang terlalu banyak dimanja sehingga menyebabkan sensory overload, yang dapat membawa serangan panik berlebihan. "Jika Anda tidak menekan sedikit, maka tidak akan ada kemajuan apapun," jelasnya. Keluarga Grandin memiliki dana yang cukup untuk mengirim Temple ke sekolah swasta yang memberinya perhatian lebih ketimbang sekolah negeri. Namun meski sekolah tetap tidak menyenangkan baginya, ada satu kelas yang benar-benar membuatnya merasa senang, yaitu kelas berkuda dan laboratorium ilmu pengetahuan.
Saat harus berusaha mengatasi ketidakmampuan fisiknya, Temple justru mendapatkan keuntungan sendiri. Di suatu musim panas, Temple remaja yang tinggal di peternakan bibinya di Arizona menemukan empati manusianya yang hilang, diimbangi dengan pemahaman yang luar biasa terhadap hewan di peternakan bibinya. Peternakan menjadi titik balik bagi Temple. Bukan saja ia bisa merawat kuda bibinya, tapi ia juga mulai merasakan ikatan khusus dengan ternak, yang membuatnya merasa lebih damai ketimbang harus berinteraksi dengan orang lain. Jika 'Dr Doolittle' dapat berbicara dengan hewan, maka Temple dapat berpikir seperti apa yang hewan pikirkan.
Ia menemukan bahwa sapi sama seperti dirinya, resah dengan suara dan gerakan yang tak terduga. Namun dengan tekanan yang sesuai, sapi dapat tenang saat dilakukan pemerahan susu atau vaksinasi. Terpesona dengan kondisi itu, Temple membujuk bibinya agar diperbolehkan mencoba memerah sapi. Hasilnya sangat dramatis, hal itu dapat menenangkan saraf Temple. Dengan berpikiran ilmiah, Temple pun menciptakan 'mesin tekan' (squeeze machine) darurat sendiri. Dia akan menarik kabel yang diberikan tekanan dari panel pada kedua sisinya, yang dapat menenangkan sistem sarafnya yang terlalu aktif.
Masa SMA menjadi makin sulit baginya, tetapi ia terus bertahan dan berhasil mendapatkan gelar sarjana psikologi dari Franklin Pierce University di New Hampshire. "Tinggal di sebuah kamar bersama di asrama adalah bagian tersulit. Squeeze machine dibuang oleh teman sekamar karena dianggap berantakan," kenang Temple. Di sekolah pascasarjana di Arizona State University, Temple akhirnya menemukan suaranya, meneliti perilaku hewan dan bekerja di industri ternak sebagai bagian dari penelitian pascasarjananya.
Dia mulai merasakan bahwa ternak dan hewan lainnya sama seperti dirinya, mengandalkan petunjuk visual untuk menavigasi dunia mereka. "Hewan adalah pemikir sensorik. Mereka berpikir dalam gambar, juga dalam bau dan suara," jelas Temple. Dengan perspektif yang unik, Temple pun mulai menulis artikel untuk majalah ternak yang terkenal. Namun industri ternak dari Midwest pada 1970-an, bagaimanapun, bukan tempat yang mudah bagi seorang wanita muda. Dia menghadapi seksisme ekstrim dan bullying, bahkan pada suatu kesempatan, ia mendapatkan mobilnya tertutup testis banteng yang berdarah. "Banyak koboi yang ingin saya pergi karena mereka mengatakan istrinya tidak suka saya berada disana. Tapi karena saya autis, saya tidak menangkap hal-hal sosial. Saya tidak melihat ketidaksukaan mereka terhadap saya, saya hanya ingin bekerja. Jadi selama saya bisa melakukannya dan saya senang," ujar Temple.
Temple mulai merancang apa yang sudah ia lihat dalam benaknya, yaitu cara yang lebih baik menyalurkan ternak melalui tong disinfektan dan vaksinasi tanpa membuat ternak menjadi khawatir atau takut.
Selanjutnya, dia mengalihkan perhatiannya ke rumah pemotongan hewan, merancang sistem penyembelihan ternak yang lebih manusiawi. Luar biasanya, kini lebih dari setengah juta ternak di AS dan Kanada ditangani dengan fasilitas yang dirancang oleh Temple. Ia juga bekerja sebagai konsultan bagi McDonald, perancangan dan pelaksanaan program-program kesejahteraan hewan. Anak autis ini mampu mengubah industri peternakan Amerika, menjadi juru bicara autisme dan mengajar mahasiswa PhD di Colorado State University. Dr Temple Grandin juga menulis sepuluh buku, tentang hewan dan perilaku manusia. Kisah hidup Temple yang inspiratif bahkan pernah difilmkan oleh HBO dengan judul namanya sendiri 'Temple Grandin'.
2.      Analisis Film Temple Grandin
A.    Lobus Parientalis
Lobus pariental terletak diantara lobus oksipital dan sulkus sentral  yang merupakan salah satu lekukan terdalam pada permukaan korteks serebrum. Didekat bagian posterior sulkus sentrall terdapat  girus postsentral, atau disebut juga korteks somatosensori utama yang merupakan target utama untuk sensasi sentuhan serta informasi dari reseptor regang-otot dan persendian.
Pada penderitia autis terdapat kelainan pada anatomi lobus pariental, salah satunya kelainan yang terjadi di dalam somatosensori. Kelainan ini menyebabakan penderita autis tidak menyukai sentuhan, pelukan yang dilakukan oleh orang lain kepada dirinya. Hal ini juga terjadi pada Temple Grandin, ia selalu menghindari dan menolak orang yang ingin mengajak berjabat tangan, menyentuh bahkan ketika orang tuanya ingin memeluk dirinya Grandin selalu menolak karena hal itu merupakan ancaman bagi Temple.
Selain itu, penderita autis juga mengalami kelainan anatomi lobus parietal, cerebellum dan sistem limbik. Kelainan lobus parietalis menyebabkan anak cuek terhadap lingkungan. Hal ini juga terjadi pada Temple, ia tidak peduli ketika orang-orang disekitarnya mengejek dirinya sebagai orang aneh. Temple tetap menjalakankan hal yang ia sukai yaitu sains. Dia menghadapi seksisme ekstrim dan bullying, bahkan pada suatu kesempatan, ia mendapatkan mobilnya tertutup testis banteng yang berdarah. "Banyak koboi yang ingin saya pergi karena mereka mengatakan istrinya tidak suka saya berada disana. Tapi karena saya autis, saya tidak menangkap hal-hal sosial. Saya tidak melihat ketidaksukaan mereka terhadap saya, saya hanya ingin bekerja. Jadi selama saya bisa melakukannya dan saya senang," ujar Temple.
Cerebellum merupakan pusat koordinasi motorik yaitu daerah yang berkaitan dengan kegiatan motorik, sensasi dari kulit, berbicara, pendengaran, penglihatan, proses-proses mental yang lebih tinggi. Penderita autis akan mengalami gangguan pada cerebellum dan menyebabkan perilaku seperti yang Temple alami yaitu Ketika Temple masih sangat muda, ia tidak berbicara, tidak memperhatikan atau melakukan kontak mata sama sekali. Dia hanya akan bersenandung sendiri dan menggiring bola pasir di tangan.
Kelainan sistem limbik mengakibatkan fungsi control,terhadap agresi dan emosi terganggu, anak kurang mampu mengendalikan emosinya (terlalu agresif atau sangat pasif) karena sistem limbik berperan penting dalam reaksi emosi. Daerah sistem limbik mencakup hippocampus dan amygdala. Hippocampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya ingat. Gangguan hippocampus membuat anak sulit menyimpan info baru. Hal seperti itupun dialami oleh Temple, ia tipe anak autis yang tidak menyerang orang lain kecuali diprovokasi terlebih dahulu. Suatu ketika Temple sedang membuat semacam mobil mini dari kayu dan tiba-tiba temannya datang lalu menaburkan serbuk kayu kepada Temple, ia langsung marah dan memukul temannya hingga hidung temannya tersebut berdarah.
Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Hass dkk. (dalam Huebner & Lane, 2001) dan Courchesne (dalam Nash, 2002) menemukan suatu kesamaan yaitu adanya penurunan jumlah sel Purkinje pada hemisfer serebelum dan vermis. Penelitian lanjutan oleh Courchesne dkk. (Courchesne, Redcay, Morgan, & Kennedy, 2005) menghasilkan hipotesis baru. Para peneliti berpendapat bahwa pada saat lahir bayi autistik memiliki ukuran otak yang normal. Namun setelah mencapai usia dua atau tiga tahun, ukuran otak mereka membesar melebihi normal, terutama pada lobus frontalis dan otak kecil, yang disebabkan oleh pertumbuhan white matter dan gray matter yang berlebihan. Sementara sel saraf yang ada lebih sedikit dibandingkan pada otak normal dan kekuatannya juga lebih lemah. Kondisi inilah yang tampaknya berkaitan dengan gangguan pada perkembangan kognitif, bahasa, emosi dan interaksi sosial. Kaitanny dengan ha tersebut, Temple mengalami hal yang sama yaitu dia telahir layaknya orang normal pada umumnya. Tidak terlihat adanya tanda-tanda kelainan psikologis. Namun, setelah Temple berusia 3 tahun tanda-tanda mulai terlihat seperti tidak mau disentuh dan dipeluk, belum bisa berkomunikasi baik secara verbal maupun nonverbal namun ia mengerti apa yang dikatakan orang, Tempe sering mengamuk (tantrum) apabila dirasa ada hal-hal yang mengancam dirinya.
Namun meskipun begitu, Temple memiliki kelebihan yang jarang dimiliki oleh anak-anak pada umumnya yaitu ia mampu memvisualisasikan apa yang ia lihat. Ia mampu mengingat apapun yang ia lihat seperti ketika pelajaran bahasa perancis, Temple hanya melihat sekilas materi dan ia mampu menjelaskan dengan baik karena Temple mengasosiasikannya dengan gambar yang ada di halaman tersebut. Ketika orang-orang menyebutnya sebuah rencana yang keberhasilannya belum diketahui secara pasti namun bagi Temple rencana tersebut sudah tentu dan pasti berhasil karena ia sudah melihat dan melaksanakannya ribuan kali di kepalanya.
Hipersensitivitas pada suara merupakan masalah yang paling banyak dialami olehp penderita autis. Banyak suara yang tidak dirasakan mengganggu oleh individu yang normal, tetapi dipersepsi sebagai suara yang amat bising dan memekakkan telinga oleh penderita autis. Uniknya, suara-suara tertentu dapat menimbulkan perasaan senang dan nyaman sehingga cenderung ingin didengar berulang-ulang



DAFTAR PUSTAKA
Solso L Robert, Otto H Maclin, M Kimberly Maclin. 2008. Psikologi Kognitif Edisi 8. Jakarta : Erlangga
Kalat J.W . 2013. Biopsikologi Jilid 1 Edisi 9. Jakarta : Salemba Humanika
Ginanjar Adriana Soekandar. (2007). “ memahami spectrum autistic secara holistik”. Dar jurnal makara sosial humaniora. 11(2),87-90.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Free Website TemplatesFreethemes4all.comFree CSS TemplatesFree Joomla TemplatesFree Blogger TemplatesFree Wordpress ThemesFree Wordpress Themes TemplatesFree CSS Templates dreamweaverSEO Design